Sunday, July 23, 2017

KESDM: Ini Pemicu Kerugian Industri Smelter Nikel


INILAHCOM, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), membantah jika kerugian perusahaan smelter nikel tanah air terjadi aturan instansi tersebut.


Jadi Peratuan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara bukan sebagai beban perusahaan nikel nasional.


Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sujatmiko, menerangkan, kerugian smelter nikel saat ini seiring turunnya harga jual dan meningkatnya biaya produksi.


“Melemahnya permintaan nikel pada industri stainless steel di kuartal kedua 2017 ditengarai menjadi penyebab utama turunnya harga nikel dunia,” jelas Sujatmiko melalui keterangan resmi di Jakarta, Minggu (23/7/2017).


Di saat yang bersamaan, kata dia, harga coking coal (kokas) juga meningkat dari US$100/ton di Desember 2016 menjadi US$200/ton pada Mei 2017.


“Tidak tepat jika PP No. 1 Tahun 2017 menimbulkan kerugian bagi pengusaha smelter nikel sehingga menyebabkan ditutupnya operasi produksi smelter nikel di tanah air,” ujarnya.


Dia menerangkan, kokas diduga sebagai salah satu komponen utama pada struktur biaya dalam proses pengolahan. Selain itu juga pemurnian nikel dengan teknologi blast furnace, rata-rata mencapai 40 persen dari total biaya produksi.


Saat ini pun harga minyak mentah dunia, lanjut dia,tidak ada satu organisasi atau negara yang dapat menentukan atau mengontrol harganya. Hal ini terjadi juga di komoditas mineral dan batubara.


Sujatmiko mengungkapkan, merujuk pada data dari United States Geological Survey, Januari 2017, Indonesia memiliki cadangan nikel hanya 6% dari total cadangan dunia. Sedangkan pada tahun 2016 kontribusi produksi nikel Indonesia dalam menyuplai kebutuhan nikel dunia hanya sekitar 7%.


“Total cadangan Indonesia cuma 6 persen cadangan dunia. Jadi tidak tepat kalau dikatakan harga nikel dunia terkontrol oleh ekspor terbatas nikel kadar rendah dari Indonesia. Produksi nikel Indonesia dalam menyuplai kebutuhan nikel dunia juga bukanlah yang terbesar, hanya sekitar 7%,” ungkapnya.


“Pemasok utama adalah Filipina, lebih dari 22%, disusul Rusia dan Kanada, masing-masing sekitar 11%. Sementara Australia dan New Caledonia masing-masing sekitar 9%. Realisasi ekspor nijih nikel kadar rendah dari Indonesia untuk periode Januari hingga Juni 2017 hanya 403.201 ton.”


Pemerintah, lanjut Sujatmiko, menerapkan aturan serta kontrol yang ketat atas rekomendasi dan realisasi ekspor bijih nikel kadar rendah. Ekspor hanya bisa dilakukan jika perusahaan telah benar-benar terbukti memiliki kemampuan secara teknologi, bahan baku, keuangan dan sumber daya manusia.


Pemerintah mengontrol rekomendasi dan realisasi ekspor (bijih nikel kadar rendah) dengan syarat yang ketat. Semua syarat harus proven (terbukti). Aturan yang ada saat ini berbeda dengan sebelumnya, yaitu dengan adanya verifikator independen, dengan kemampuan yang lengkap. Ada ahli metalurgi, civil engineering dan tekno ekonomi, sehingga semua risiko dapat dikendalikan.


“Hasil ekspor tersebut semata-mata untuk memperkuat kemampuan (finansial) guna penyelesaian pembangunan smelter di dalam negeri,” jelas Sujatmiko.


Sujatmiko, menambahkan, adanya PP Nomor 1Tahun 2017, diterbitkan dalam rangka mendorong dan mempercepat pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam di dalam negeri.


“Pemerintah terus berupaya mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri agar memberikan manfaat yang optimal bagi negara serta memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi Mineral dan KK,” terangnya. [hid]
 



- Fajar Nurzaman - Blog Sang Pembelajar -

- http://fajarnurzaman.net/bisnis-produk/2392945/

0 komentar:

Post a Comment