Prolouge:
Ini adalah artikel ke-1000 di IndoCropCircles yang akhirnya berhasil kami rilis. Sebenarnya, artikel ini sudah mulai dibuat sejak tahun 2015 silam, namun masih bersanding dengan ratusan artikel lainnya yang belum kami rilis tentang misteri, sejarah, kontroversi dan konspirasi lainnya.
Karena pada umunya, penundaan artikel-artikel tersebut terjadi karena belum lengkap data dan informasi tentangnya. Ini pun kami rasa belum terlalu komplit, walau agak panjang. Oleh karena agak panjang itulah, kami memilih artikal ini sebagai artikel ke-seribu yang kami rilis. Kami haturkan terimakasih banyak atas kunjungannya Anda selama ini, dan selamat membaca. 🙂
Adalah Kerajaan Salakanagara yang belakangan ini dikenal sebagai kerajaan pertama di Nusantara, jauh lebih dulu dari Kerajaan Kutai di Kalimantan yang sebelumnya ditetapkan sebagai kerajaan tertua dan pertama di Nusantara.
Namun sebagian masyarakat masih menganggap bahwa Kerajaan Salakanagara hanya mitos, namun setelah membaca artikel ini, Anda boleh berpikiran apapun karena itu adalah hak Anda.
Maka pada artikel yang agak panjang pada kali ini, akan menyeret Anda ke ruang dan waktu ke masa lampau, masa silam, kuno, dimana Nusantara masih sunyi, tentang kisah awal mula berdirinya sebuah kerajaan pertama di Nusantara, dimana wilayah pulau-pulau lainnya masih kosong, atau hanya ada kampung-kampung nelayan.
Daerah itu bernama Salaka untuk kemudian menjadi sebuah kerajaan awal di wilayah Nusantara. Bernama: Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta – Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta), Salakanagara berdiri pada abad-1 Masehi yang diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara!
Salakanagara diyakini sebagai leluhur Suku Sunda, hal dikarenakan wilayah peradaban Salakanagara sama persis dengan wilayah peradaban orang Sunda selama berabad-abad.
Dan yang memperkuat lagi adalah kesamaan kosakata antara Sunda dan Salakanagara. Disamping itu ditemukan bukti lain berupa Jam Sunda atau Jam Salakanagara, suatu cara penyebutan waktu/jam yang juga berbahasa Sunda.
Situs dan Artefak awal berdirinya Kerajaan Salakanagara
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Pasundan memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tubagus H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya.
Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lainnya.
Semua itu menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Awal berdirinya Kerajaan di abad-1 ini, berada di daerah Teluk Lada, Pandeglang (sekarang masuk provinsi Banten), kota yang ketika terkenal dengan hasil logamnya. Salakanagara artinya “Negara Perak”, didirikan pada tahun 52 Saka (130/131 Masehi).
Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata “panday” dan “geulang” yang artinya pembuat gelang. Seorang sejarawan Sunda, Dr. Edi S. Ekajati, memperkirakan bahwa letak ibukota kerajaan tersebut adalah kota Merak sekarang. Dalam bahasa Sunda, Merak artinya “membuat perak”.
Tetua di Salaka adalah Aki Tirem yang kemudian dikenal pada masa kini sebagai Aki Tirem Luhur Mulia atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Angling Dharma dalam nama Hindu dan Wali Jangkung dalam nama Islam..
Sedangkan pendiri Salakanagara adalah Dewawarman. Sedangkan pendiri kerajaan sesudahnya yaitu Tarumanagara, adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata, karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain.
Salaka Nagara (130 -362), Kerajaan Pertama di Nusantara
Kerajaan Salakanegara ini sudah ada pada abad pertama tahun masehi dan diyakini merupakan kerajaan pertama di Nusantara. Pendiri Salakanagara berasal dari Aki Tirem.
Sementara itu, seorang bernama Dewawarman adalah duta keliling, pedagang, sekaligus perantau dari Kerajaan Pallawa (kerajaan dinasti Palawa / Pallava Empire), di Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura.
Jadi, tokoh awal yang berkuasa di daerah Salaka ini adalah orang lokal bernama Aki Tirem.
Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus pada tahun 150, yang terletak di daerah Teluk Lada, Pandeglang, kini di sebelah barat provinsi Banten.
Di Salakanagara, kelompok marga atau wangsa Warman itu berinteraksi dengan warga setempat, dan terjadilah akulturasi kebudayaan, termasuk akulturasi sistem pemerintahan.
Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat ini yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati) diperisteri oleh Dewawarman.
Dewawarman kemudian menerima warisan untuk memimpin kelompok Salakanagara dan mendirikan kerajaan yang lebih bercorak India, kerajaan itu diberi nama Salakanagara. Gelar yang disematkan kepada Dewawarman adalah “Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara”.
Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman akhirnya menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya di Palawa, India.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama resmi Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura.
Ia menjadi raja pertama dengan gelar “Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara”.
Kerajaan-kerajaan kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Salakanagara
Setelah Kerajaan Salakanagara terbentuk, kemudian mulailah terbentuk beberapa kerajaan-kerajaan kecil lain yang berada disekelilingnya, mereka berkoalisi, yang mana diantaranya bisa jadi bermula dari seorang sesepuh yang dituakan atau yang berpengaruh, pemuka agama atau tuan tanah, hingga dari keturunan Raja Dewawarman sendiri.
Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya ini, akhirnya berhasil bergabung dengan Kerajaan Salakanagara dan sekaigus menjadi daerah kekuasaannya pula, diantaranya adalah:
1. Kerajaan Agnynusa (Nusa Api / Negeri Api)
Kerajaan Agny Nusa merupakan kerajaan kuno yang terletak di Pulau Krakatau, Selat Sunda, atau tepat di kaki Gunung Krakatau. Peninggalan kerajaan ini mungkin sudah musnah karena letusan besar Krakatau pada tahun 1882. Tidak jelas mengenai asal-usul kerajaan yang berada di Pulau Krakatau, di Selat Sunda ini.
2. Kerajaan Agra Binta
Kerajaan Agrabinta adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang berada di Pulau Panaitan, Selat Sunda. Nama ibukotanya adalah Aghrabintapura. Dari data arkeologi dari Pulau Panaitan ditemukan arca Siwa, Ganesha dan Lingga Semu/Lingga Patok.
Arca Shiwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat diamankan dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor inventaris 306.2981. Tidak jelas mengenai asal-usul kerajaan yang berada di Pulau Panaitan, di Selat Sunda ini.
3. Kerajaan Nusa Mandala
Kerajaan ini merupakan sebuah kerajaan Hindu yang berkedudukan di Pulau Sangeang (Sangiang). Tidak jelas mengenai asal-usul kerajaan yang berada di Pulau Sangeang Selat Sunda ini.
4. Kerajaan Hujung Kulon
Kerajaan Hujung Kulon adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang berkedudukan di Ujung Kulon, Pandeglang Banten. Berdiri sekitar abad 2 Masehi dengan wilayah kekuasaan sekitar Kabupaten Pandeglang sekarang.
Dari buku “Sejarah Jawa Barat” (Yuganing Rajakawasa) karya Drs. Yoseph Iskandar, bahwa raja daerah Kerajaan Hujung Kulon yang pertama adalah Senapati Bahadura Harigana Jayasakti, adiknya Dewawarman I.
Sementara adik dari Dewawarman yang seorang lagi, yaitu Sweta Liman Sakti diangkat menjadi raja daerah Tanjung Kidul dengan ibu Kotanya Aghrabintapura. Tidak diketahui banyak mengenai kerajaan Hujung Kulon ini.
5. Kerajaan Tanjung Kidul
Kerajaan Tanjung Kidul adalah sebuah Kerajaan bercorak Hindu yang didirikan di Selatan Kabupaten Cianjur sekarang. Rajanya ialah Swetalimansakti, adik dari Senapati Bahadura dan Dewawarman I.
Dari kerajaan-kerajaan dibawahnya, itu artinya seluruh Selat Sunda dapat dikuasai Dewawarman I ini, sehingga ia digelari “Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara” atau “Raja Penguasa Gerbang Lautan” (Yogaswara, 1978:38).
Kerajaan Salakanagara yang dibentuk dari tahun 130 sampai dengan tahun 362 dan mulai menguasai beberapa kerajaan-kerajaan kecil ini memiliki beberapa Raja setelah sepeninggalan Aki Tirem, dengan nama gelar raja yang sama, yaitu dari Dewawarman-I sampai dengan Dewawarman-IX.
Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I – IX). Kerajaan Salakanagara berdiri selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi.
Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra.
Dari daerahnya di pesisir barat pulau Jawa ke wilayah timur, jika dimaknai dari penamaannya, Negara “Salaka”, mungkin saja daerah ini kemudian menjadi penamaan untuk Gunung Salak hingga saat sekarang, sebagai tanda batas timur dari sebuah Kerajaan bernama Salaka Nagara atau Negara Salaka, sebagai batas dari Kerajaan Tarumanagara yang ada di wilayah timur.
Mungkinkah? Bisa jadi. Karena sebagian pemerhati kerajaan ini memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung Salak, berdasarkan pengucapan kata “Salaka” dan kata “Salak” yang hampir sama.
Pada masa kini di daerah Banten, Dewawarman lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Prabu Angling Dharma dan Wali Jangkung.
Beberapa peninggalan Kerajaan Salakanagara:
- Situs Cihunjuran, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang
- Batu Menhir, di Cihunjuran, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang
- Tiga Batu Menhir, di sebuah mata air di Cihunjuran, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang
- Kolam pemandian purba, di Cihunjuran, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang
- Batu Menhir, di Kecamatan Mandalawangi lereng utara Gunung Pulosari.
- Batu Menhir, di Kecamatan Saketi lereng Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang
- Batu Menhir, di wilayah Desa Cikoneng
- Situs di Citaman, Banten Selatan
- Situs di Pulosari, Banten Selatan
- Situs di Ujung Kulon, Banten Selatan
- Situs Batu Dolmen, Banten Selatan
- Situs Batu Dakon, di Kecamatan Mandalawangi. Batu ini memiliki beberapa lubang di tengahnya dan berfungsi sebagai tempat meramu obat-obatan.
- Situs Batu Magnit, di puncak Rincik Manik (di puncak Gunung Pulosari), Desa Saketi, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang. Sebuah batu yang cukup unik, karena ketika dilakukan pengukuran arah dengan kompas di sekeliling batu dari berbagai arah mata angin, jarum kompas selalu menunjuk pada batu tersebut.
- Situs Batu Peta, di Banten Selatan, yang sampai saat ini belum ada satu orang pun yang dapat menerjemahkan isi peta tersebut.
- Patung Ganesha dan patung Shiwa, di lereng Gunung Raksa, Pulau Panaitan. Dapatlah diduga bahwa masyarakatnya beragama Hindu Shiwa.
Selain situs-situs tersebut, ada juga petilasan di lereng Gunung Pulosari, yaitu Air Terjun Curug Putri, yang menurut cerita rakyat, air terjun ini dahulunya merupakan tempat pemandian Nyai Putri Rincik Manik dan Ki Roncang Omas.
Beberapa situs tersebut sangat kuno bahkan seperti dari zaman megalithikum. Dan beberapa diantaranya berada di lereng sebelah barat laut Gunung Pulosari, tidak jauh dari kampung Cilentung, Kecamatan Pulosari (sekarang). Batu tersebut menyerupai batu prasasti Kawali II di Ciamis, dan Batu Tulis di Bogor.
Sedangkan dari data arkeologi dari Pulau Panaitan berupa arca Siwa, Ganesha dan lingga semu/lingga patok. Arca Shiwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat diamankan dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor inventaris 306.2981.
Arca ini berukuran tinggi 76,5 cm, lebar dan tebal maksimum 32,5 cm dan 24 cm, dibuat dari batuan andezitik. Arca Shiwa ini sering dikatakan berbentuk statik dan sederhana, tidak sama dengan penggambaran Dewa Shiwa pada umumnya.
Hal lain dari arca ini ialah tangan belakang yang memegang trisula dipahat langsung pada sandaran arca di belakang kepala. Kedua tangan bagian depan bersikap Varadamudra dan memegang Padma memakai selempang pola pita lebar.
Pulau Panaitan merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda, luasnya sekitar 17.500 Ha yang termasuk kawasan pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung Kulon.
Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan bahwa pulau ini telah ada sejak ±26 juta tahun lalu, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua. Pada berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini tersusun dari jenis-jenis batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial.
Arca Dewa Shiwa di Pulau Panaitan ini bermahkota tanpa Candrakapala, mata terpejam, besaran kepala tidak proporsional apabila dibandingkan dengan postur tubuh, dalam posisi duduk di atas nandi yang juga menghadap frontal. Sikap duduknya digambarkan kurang lazim, bukan Yogamudra atau Semi-Yogamudra, karena kedua telapak kaki dipertautkan dalam posisi bersila dengan ujung-ujung jari kaki “jinjit” di atas kepala nandi.
Arca Siwa tersebut diduga oleh para arkeolog berasal dari abad ke-7 Masehi, suatu abad memuncaknya kesenian Hindu di pesisir utara Jawa Barat (Cibuaya) dan pedalaman (Cangkuang).
Sementara itu, arca Ganesha di Pulau Panaitan meskipun digambarkan tanpa mahkota, namun penggambaran bagian-bagian utama/umum, tubuhnya cukup lengkap. Ganesha ini digambarkan dalam ukuran tidak proporsional, duduk di atas batur.
Belalainya menjuntai kemudian melengkung ke arah tangan kiri. Sedangkan pada lingga semu tidak didapati atribut sebagai salah satu lambang emanasi Shiwa, sehingga lingga Pulau Panaitan ini dianggap berfungsi sebagai patok batas tanah.
Kerajaan Tarumanagara (358–669) mulai berdiri, justru membawahi Kerajaan Salakanegara menjadi “kerajaan daerah”
Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman IX atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara, yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman.
Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII dan IX, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman IX. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah hanya menjadi Kerajaan Daerah dibawah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Tarumanagara berdiri dari abad 4 sampai 7 Masehi atau selama 311 tahun yaitu dari tahun 358–669 Masehi, dipimpin oleh Raja-raja: Jayasingawarman (358-382), Dharmayawarman (382-395), Purnawarman (395-434), Wisnuwarman (434-455), Indrawarman (455-515), Candrawarman, 515-535), Suryawarman (535-561), Kertawarman (561-628), Sudhawarman (628-639), Hariwangsawarman (639-640), Nagajayawarman (640-666) dan Linggawarman (666-669).
Tampak dari nama raja-raja Tarumanagara diatas masih memiliki darah wangsa Warman yang berasal dari raja-raja di Kerajaan Salakanagara sejak masa sebelumnya. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Bukti adanya Kerajaan Tarumanagara yang tersisa hingga kini:
Salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Kebonkopi I dan Kebonkopi II, namun Prasasti Kebonkopi II sudah hilang dicuri. Prasasti Kebonkopi I dinamai juga sebagai “Prasasti Tapak Gajah” karena terdapat pahatan tapak kaki gajah.
Prasasti Kebonkopi I terletak di Kampung Muara, termasuk wilayah Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor.
Di kawasan situs Ciaruteun ditemukan beberapa prasasti peninggalan Tarumanagara. Prasasti Kebonkopi I adalah salah satu dari tiga buah prasasti di kawasan ini yang penting nilainya bagi kesejarahan Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5-7 M).
Hingga kini prasasti tersebut masih berada di tempatnya ditemukan (in situ). Prasasti ini berada pada koordinat 06°31′39.8″S 106°41′25.2″E dengan ketinggian 320 m di atas permukaan laut.
Area situs ini merupakan kawasan pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Ciaruteun di selatan, Sungai Cisadane di timur, Sungai Cianten di barat, serta muara Sungai Cianten yang bertemu dengan Sungai Cisadane di utara.
Dua prasasti lainnya adalah Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Muara Cianten, keduanya ditemukan tidak jauh dari prasasti ini. Jadi ada empat prasasti dari KErajaan Tarumanagara, yaitu:
Merupakan salah satu prasasti ini menampilkan ukiran tapak kaki gajah, yang mungkin merupakan tunggangan raja Purnawarman, yang disamakan dengan gajah Airawata, wahana Dewa Indra. Prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang disusun ke dalam bentuk seloka metrum Anustubh yang diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki gajah.
Teks:
~ ~ jayavisalasya Tarumendrasya hastinah ~ ~
Airwavatabhasya vibhatidam ~ padadvayam
Terjemahan:
“Di sini nampak tergambar sepasang telapak kaki …yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan”
Diawali pada tahun 1863, Jonathan Rig, seorang tuan tanah pemilik perkebunan kopi di dekat Buitenzorg (kini Bogor). Kemudian ia melaporkan penemuan prasasti di tanahnya. Penemuan prasasti ini dilaporkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional Indonesia) di Batavia (kini Jakarta).
Kerajaan Kendan/Kelang (536–612) dibawah Tarumanagara mulai berdiri
Pada masa kejayaan Kerajaan Tarumanagara yang berdiri selama 311 tahun, pada kekuasaan di tahun ke 178 atau pada tahun 536 Masehi, berdirilah Kerajaan Kendan yang hanya bertahan selama 76 tahun (536–612) dan memiliki wilayah yang kecil.
Kerajaan Kendan didirikan oleh Sang Resiguru Manikmaya, sebagai raja pertama yang datang dari Jawa Timur. Resiguru Manikmaya menjadi raja karena ia menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan, suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung, lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat.
Isi surat dari Maharaja Suryawarman, raja Tarumanagara tersebut adalah: Keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.
Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Ia memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman. Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman dikenal tampan dan mahir ilmu perang.
Setelah Resiguru Manikmaya wafat, Sang Baladika Suraliman menjadi raja menggantikan ayahnya menjadi Raja bergelar Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.
Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang dan menikahi putri Bakulapura dari Kerajaan Kutai Kalimantan dari keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari kemudian mempunyai seorang putra dan seorang putri.
Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati. Sang Kandiawan disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang, sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, dan tinggal bersama suaminya.
Sang Suraliman menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M).
Kemudian ia digantikan oleh anaknya Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja di daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.
Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di wilayah Cangkuang, Garut).
Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung terkait dengan keagamaan masa silam di Kendan.
Bukti adanya Kerajaan Kendan yang tersisa hingga kini:
- Kampung Pasir Dayeuh kolot / disebut Kampung Kendan dikenal dengan Kampung Kelang di Bukit yang letaknya 15 km sebelah tenggara Cicalengka Jawa Barat.
- Ditemukannya Arca Manik, Arca Durga, Pusaka Naga Sastra, Naskah berbahasa Sansekerta yang disimpan di Museum Nasional Pusat Jakarta.
- Candi Cangkuang di desa Bojong Mente, Cicalengka, Garut, Jawa Barat.
- Situs Makam Keramat Sanghyang Anjungan, Situs Makam Keramat Embah Singa, Situs Makam Keramat Eyang Cakra, Situs Makam Keramat Kiara Jenggot.
- Batu Cadas Pangeran di Nagreg Jawa Barat.
- Sedangkan Komplek Keraton Baleeh Gedeh untuk Pertemuan dan Baleeh Bubut untuk kediaman Raja sudah tidak ditemukan lagi karena Rumah Panggung tersebut terbuat dari Kayu dan sudah lapuk termakan usia jaman, hanya tersisa batu-batu besar di Perbukitan Citaman Nagreg.
- Carita Parahyangan.
- Kabuyutan Sanghiyang Tapak.
- Baru Bertuliskan Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menyebutkan Ibu Kota Kerajaan Taruma Nagara.
Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun.
Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Kerajaan Galuh (669–1482) dibawah Tarumanagara mulai berdiri
Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi Rajaresi di daerah Menir, menjadi Raja di Kerajaan Kendan.
Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir, namun ia mendirikan pusat pemerintahan baru yang kemudian diberi nama Galuh (permata).
Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah tetap sebagai raja bawahan Kerajaan Tarumanagara.
Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua aliran sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, barada di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri dari seorang putri pendeta Resi Makandria bernama Manawati yang dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi.
Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).
Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja Galuh, dibawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M), yang semuanya masih dalam kekuasaan Kerajaan Tarumanagara.
Peninggalan Prasasti-Prasasti dari masa Kerajaan Galuh yang ada hingga kini:
Pada waktu kedepannya, Kerajaan Tarumanagara yang menguasai beberapa kerajaan-kerajaan kecil dibawahnya termasuk Kerajaan Galuh, akhirnya berganti nama dari Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda, kemudian pecah menjadi dua kerajaan besar yang berdiri sendiri.
Salah satunya menjadi Kerajaan Galuh ini yang semakin besar, adalah kerajaan Sunda di pulau Jawa yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Ciserayu dan juga Cipamali (Kali Brebes) dibagian sebelah timur dari kerajaan.
Kerajaan ini adalah penerus dari peleburan dengan kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara. Kerajaan Galuh akhirnya dapat berdiri selama 813 tahun (669–1482) dan hingga mempunyai 31 orang raja.
Dimulai oleh raja pertama Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702) dan raja terakhir adalah raja ke-31 yaitu Maharaja Cipta Sanghyang Di Galuh (1528-1595). Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16.
Kerajaan Tarumanagara runtuh, pecah menjadi dua: Kerajaan Galuh (669–1482) dan Kerajaan Sunda/Pasundan (932–1579)
Kemudian ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Kerajaan Tarumanagara yang sudah pudar pamornya.
Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa, mengganti nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.
Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, Sang Tarusbawa ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di Purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670 Masehi, ia mengganti nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Di tahun 669 Masehi, Sang Tarusbawa menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman, raja Tarumanagara yang terakhir. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh yang masih keluarga kerajaan Tarumanegara untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.
Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan besar yang berdiri sendiri. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Kerajaan Galuh bernama Mandiminyak yang berjodoh dengan Parwati, puteri Maharani Shima dari Kerajaan Kalingga.
Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Kerajaan Galuh itu. Di tahun 670, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda disebelah barat dan Kerajaan Galuh disebelah timur, dengan Sungai Citarum sebagai batas keduanya.
Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda / Pasundan (932-1579) terbentuk
Kerajaan Sunda atau Kerajaan Pasundan sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri.
Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini.
Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Tarusbawa dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M).
Sunda adalah kerajaan yang berada dibagian barat pulau Jawa (kini provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur). Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera.
Tarusbawa memiliki gelar Tohaan di Sunda (Raja Sunda) dan menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha, kemudian sekitar abad ke-14, kerajaan ini beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.
Reunifikasi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh menjadi: “Kerajaan Sunda-Galuh” (1030-1579)
Kerajaan Sunda-Galuh adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari kerajaan Tarumanagara yang telah dibahas diatas, yang akhirnya bersatu kembali.
Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten Ciamis. Namun banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja.
Sebelum Kerajaan Galuh bersatu dengan Kerajaan Sunda, memiliki 13 orang raja. Sebagai raja pertama adalah Wretikandayun (670-702) sampai raja ke-13 adalah Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891).
Sementara itu, sebelum bersatu dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda memiliki 20 orang raja. Sebagai raja pertama adalah Maharaja Tarusbawa (669-723) sampai raja ke-20 adalah Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042).
Sri Jayabupati dari Kerqajaan Sunda mulai memerintah Kerajaan Sunda-Galuh untuk pertama kali, kedua kerajaan mulai memiliki hanya satu raja saja. Kemudian diikuti oleh raja-raja berikutnya. Seluruh raja dari Kerajaan Sunda-Galuh berjumlah 14 orang. Sebagai raja pertama adalah Darmaraja (1042-1065) sampai raja ke-14 adalah Prabu Susuktunggal (1475-1482).
Kemudian untuk kedepannya, berdirilah Zaman Kerajaan Pakuan-Pajajaran yang diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja hingga Ratu Jayadewata, yang memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Pada masa inilah Pakuan-Pajajaran mencapai puncak perkembangannya.
Sunda-Galuh kembali terpecah, reunifikasi menjadi Kerajaan Pakuan-Pajajaran (1482-1579)
Pada saat Prabu Niskala Wastu Kancana (raja Sunda-Galuh ke-13) wafat, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh).
Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal, kemudian menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, menjadi Kerajaan Pakuan-Pajajaran yang diambil dari nama ibukota kerajaan.
Namun biasanya, kedua kerajaan yang menyatu ini pada masyarakat awam lebih sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaran saja. Lokasi Pajajaran pada abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat pada peta Portugis yang menunjukkan lokasi ibukotanya di wilayah Bogor, Jawa Barat.
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Pakuan-Pajajaran:
Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno tersebut.
Selain itu, ada beberapa prasasti tentang keberadaan Kerajaan pajajaran ini, salah satunya adlah Prasasti Batutulis di Bogor yang menyebutkan keagungan Sri Baduga Maharaja dalam sejarah. Prasasti Batutulis terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kompleks Prasasti Batutulis memiliki luas 17 x 15 meter.
Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran dan masih in situ, yakni masih terletak di lokasi aslinya dan menjadi nama desa lokasi situs ini.[1] Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan Kerajaan Sunda terdapat dalam komplek ini. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasasti ini berangka tahun 1455 Saka (1533 Masehi).
Berikut adalah raja-raja yang memerintah di Pakuan-Pajajaran:
- Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
- Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
- Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
- Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
- Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
- Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang
Kerajaan Sunda-Galuh runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf (1570 – 1585), Sultan ke-3 dari Kesultanan Banten pada tahun 1579.
Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda yaitu Kalapa dan Banten, juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527.
Pelabuhan Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah, dan Pelabuhan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.
Pelabuhan Kalapa dikenal juga sebagai Sunda Kalapa yang kemudian menjadi bernama Batavia sebagai cikal-bakal kota Jakarta.
Selama kejayaannya, Kerajaan Sunda memiliki 40 orang raja, dengan Raja pertama adalah Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723) dan raja terakhir (raja ke-40) adalah Prabu Ragamulya atau yang lebih dikenal dengan Prabu Suryakancana (1567-1579).
Kerajaan Sunda-Galuh akhirnya runtuh oleh Kesultanan Banten (1526–1813) yang didirikan oleh Sultan Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati sebagai Sultan Banten pertama dan juga sekaligus sebagai Sultan ke-2 Kesultanan Cirebon.
Setelah runtuhnya Kerajaan Sunda-Galuh, bekas dua kerajaan di tataran Sunda yang menyatu ini banyak yang menyebutnya sebagai Kerajaan Pajajaran, yang banyak juga disebutkan para prasasti-prasasti dan catatan-catatan kuno sejak masa lalu.
Masih ada perdebatan peneliti antara Salakanagara dan Tarumanagara
Memang banyak para ahli yang masih memperdebatkan masalah institusi kerajaan sebelum Tarumanegara melalui berbagai sumber sejarah seperti catatan sejarah dari Cina dan bangsa Eropa atau naskah-naskah kuno.
Claudius Ptolemaeus, seorang ahli bumi masa Yunani Kuno menyebutkan sebuah negeri bernama Argyrè yang terletak di wilayah Timur Jauh. Negeri ini terletak di ujung barat Pulau Iabodio yang selalu dikaitkan dengan Yawadwipa yang kemudian diasumsikan sebagai Javadwipa atau Pulau Jawa.
Argyrè sendiri berarti perak yang kemudian ”diterjemahkan” oleh para ahli sebagai “Merak” yang hingga kini menjadi sebuah kota kecil di ujung barat laut Pulau Jawa.
Kemudian sebuah berita Cina yang berasal dari tahun 132 menyebutkan wilayah Ye-tiao yang sering diartikan sebagai Yawadwipa dengan rajanya Pien yang merupakan lafal Cina dari bahasa Sangsakerta yang berarti Dewawarman. Namun tidak ada bukti lain yang dapat mengungkap kebenaran dari dua berita asing tersebut. (©IndoCropCircles.com)
Pustaka:
- wikipedia, Salakanagara, Tarumanagara, Kendan, Galuh, Sunda Galuh, Pakuan Pajajaran, Kesultanan Banten, Sundanese people.
- wikiwand, Prasasti Kawali (Prasasti Astana Gede
- Widi Purnama@kompasiana, Misteri Situs Menhir Cihunjuran
- Humas Pdg@wordpress, Kesinambungan Budaya Prasejarah Banten
- Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
Artikel Lainnya:
Prasasti Heboh Bertulis: “Seluruh Manusia Akan Menghadapi Sesuatu” Menarik Perhatian Para Pejabat
Misteri “Batu Tulis” Desa Jabranti, Kuningan, Jawa Barat
Peradaban Prasejarah di Tepian Sungai Ciliwung Jakarta
Kekalahan memalukan tentara Mongol di tanah Jawa
Inilah Perang Terlama di Indonesia Yang Luput Dari Sejarah
Letusan Krakatau Tertulis di Kitab Ronggowarsito: Kitab Raja Purwa
Misteri Pulau Jawa: Bentuk Selatan Pulau Bingungkan Penjelajah Samudra Abad 16
Batu Ukir Berusia 1.000 Tahun Ditemukan di Ponorogo
Nama Asli Gunung-Gunung di Indonesia Dalam Bahasa Sansekerta
10 Misteri Indonesia Yang Mungkin Belum Pernah Anda Ketahui Sebelumnya
Konspirasi: “Mystery of The National Treasures of Indonesian Kingdoms”
32 Fakta-Fakta Unik Tentang Indonesia
Asal Mula Nama “Indonesia”
Ini Dia!! Megalith “Gunung Padang” Jabar, “Stone Henge” Versi Indonesia
Artefak-Artefak Gunung Padang Cianjur Yang Misterius!
Ada Lagi, Mirip “Gunung Padang” Misterius di Cilacap
Wah!! Ada Lagi Situs Megalitikum Ketiga, Kali Ini di Cibedug Banten!
Kini Giliran Jawa Timur, Ditemukan Bangunan Mirip Piramida
5 “Gunung Piramida” di Luar Jawa Yang Diselidiki
Wow!! Ternyata di Indonesia Sudah Ada Beberapa Piramida!
Situs Megalith Gunung Emas (Bukit Puncak Villa) di Suliki Sumatra Barat
10 Mata Uang Paling Tua di Indonesia
Bangunan Bata Peninggalan Majapahit Ditemukan di Halaman Rumah di Sidoarjo
Inilah Sejarah Majapahit Yang Terkubur dan Dilupakan
Harta Karun Era Majapahit Ditemukan di Pulau Nangka Malaysia
Ditemukan Keramik China Abad IX dan Pecahan Kaca Dari Persia di Dieng
Ada Misteri di Candi Bodobudur Indonesia
Wow! Ada Jejak Astronomis di Borobudur
Misteri Hilangnya Ratusan Kepala Arca Candi Borobudur
Borobudur Peninggalan Sulaiman Dan Yahudi Adalah Keturunan Bangsa Jawa?
Misteri Tanah Punt: Ada Hubungan Firaun dengan Suku di Bengkulu?
Madagaskar Ditemukan Oleh Wanita Indonesia
Ditemukan di Rembang: Perahu Tertua Abad-7 Zaman Mataram Hindu
Masih Bersifat Rahasia: Tim Istana Temukan Peradaban Kuno di Laut
Misteri Letusan Gunung Toba, satu-satunya Supervolcano di Indonesia
Misteri dan Kronologi Meletusnya Tambora, Tiga Kerajaan Lenyap Seketika
Konstruksi Gunung Padang Dirancang Arsitek Purba Ulung!
Arkeolog: Muarojambi, Bisa Jadi Ibukota Asli Kerajaan Sriwijaya
Aceh Heboh: Ribuan Koin Emas Era Samudera Pasai Ditemukan!
Geolog Teliti Info Kapal Kuno di Sumbawa
Ditemukan: Situs Candi Budha di Sleman Yogyakarta
Belum Sebulan, Sudah Tiga Situs Kuno Ditemukan di Demak
Ditemukan 2 Meter Dibawah Laut: Benteng VOC Misterius Di Daerah Pasar Ikan
Kisah Mistis Ditemukannya 2 Pedang Emas Era VOC di Aceh
Warga Heboh: Puluhan Bilah Keris Misterius Ditemukan Di Sungai “Jembatan 12” Pangkalpinang
Misteri Harta Karun Ribuan Ton Emas Rampasan Jepang di Indonesia
Ada Ratusan Ton Harta Karun Kapal Karam Seantero Indonesia!
Misteri: Wow! Struktur Mirip “Tembok” Lurus di Dalam Laut Utara Papua
Topeng Misterius Langka dari Goa Made Jombang Jatim, diteliti Peneliti Dunia
Ditemukan: Meriam Asal Indonesia Mengubah Catatan Sejarah Australia
Misteri Pada Masa Lalu, Ternyata Australia Pernah Jadi Bagian dari Nusantara!
Ilmuwan Kaget!! Fosil di Siberia “Kerabat” Orang Papua!
Wow! Manusia Jawa Purba Pernah Mendiami Eropa 700.000 Tahun Lalu!
Teori Evolusi Mungkin Berakar dari Indonesia
Hah?? Situs Gunung Padang Cianjur Berusia 109 Abad Sebelum Masehi?
Dahulu, wilayah bangsa Indonesia pernah menguasai lebih 2/3 Muka Bumi?
Ilmuwan: Peradaban Dunia Berawal dari Indonesia!
Mungkinkah, Nusantara adalah The Atlantis yang Hilang dan Kini Dicari?
Temuan-Temuan Ini Sebut Peradaban Dunia Berasal dari Indonesia!
http://wp.me/p1jIGd-7Lb
((( IndoCropCircles.com | fb.com/IndoCropCirclesOfficial )))
- Fajar Nurzaman - Blog Sang Pembelajar -
- http://fajarnurzaman.net/mistery-konspirasi/artikel-ke-1000-leluhur-suku-sunda-dan-salakanagara-kerajaan-tertua-nusantara/
0 komentar:
Post a Comment