dakwatuna.com – Tunis. Para peneliti dan diplomat Tunisia mengatakan, amandemen konstitusi di Turki, yang referendumnya akan digelar pada 16 April mendatang, merupakan bentuk kedaulatan negara dan dapat menghindarkan Turki dari dispersi.
Kepada Anadolu Agency, secara terpisah, para ahli bahkan menyebut, perubahan sistem dari parlementer menjadi presidensial, merupakan pilihan paling tepat bagi negara pada saat ini. Tapi mereka juga memperingatkan berbagai kesulitan yang akan menghambat proses transisi tersebut.
Seorang peneliti peradaban Arab, Sami Brahem mengatakan, “Yang harus dipahami adalah, kedua sistem, baik parlementer maupun presidensial, merupakan perwujudan dari sistem demokrasi. Bedanya, sistem parlementer jika terjadi dispersi, menjadikan pemerintah sulit mengambil keputusan. Sedangkan sistem presidensial sebaliknya.”
Peneliti berkebangsaan Tunisia tersebut juga menjelaskan posisi sesungguhnya dari sistem presidensial. Katanya, “Sistem presidensial bukanlah sistem individual. Tapi kepresidenan merupakan lembaga yang komplet dengan pusat penelitian, pengkajian, dan konsultasi.”
Terkait sikap berbagai negara terhadap amandemen konstitusi di Turki, Sami mengatakan, “Kontroversi yang dihasilkan oleh referendum, merupakan akibat dari sikap Turki di Kawasan. Ada yang berkeinginan agar Turki tetap seperti sekarang.”
“Bahkan beberapa negara tidak berurusan dengan referendum dalam konteks tujuan, melainkan dalam konteks obsesi internalnya saja,” tambah Sami.
Pada kesempatan lain, penulis sekaligus wartawan Tunisia, Habib Bouajila mengakan, “Referendum merupakan kecenderungan yang timbul baik di Kawasan maupun dunia, yang memfokuskan pekerjaan kepada kedaulatan negara. Ketakutannya bukan pada keberagaman pemikiran dan gagasan. Melainkan pada keberadaan ras, etnis, keyakinan, dan juga agama.”
“Wilayah Asia bergerak menuju demokrasi yang terpusat, dimana prioritas diberikan kepada nasionalisme. Bukan pada keberagaman yang bahkan dapat memperlemah negara itu,” kata Bouajila.
Lebih lanjut, Bouajila juga menyebut adanya kemungkinan penghambat proses transisi dari sistem parlementer menjadi presidensial di Turki tersebut. Katanya, “Akan ada pertentangan dari keberagaman yang ada di tengah bangsa Turki. Hal itu berhubungan dengan tuntutan otonomi untuk suku Kurdi, serta keinginan kelompok sekuler terhadap sistem demokrasi yang mengesampingkan Islam dalam setiap keputusannya.”
“Tapi, Presiden Erdogan sepertinya mampu melewati referendum, karena itu akan mengakomodir segala kepentingan Bangsa Turki,” tambah Bouajila.
Tidak lupa, Habib Bouajila juga mengomentari permusuhan yang ditunjukkan Barat kepada Erdogan terkait referendum. Katanya, “Serangan yang dilancarkan bukan dalam rangka menjaga demokrasi. Namun itu merupakan ekspresi ketakutan mereka terhadap peran sentral Erdogan dengan Turki di Kawasan. Juga terhadap transformasi Erdogan yang akan menjadi pemimpin nasional yang memiliki kekuasaan penuh.”
Sementara itu, mantan diplomat Tunisia, Abdullah Alobadi mengatakan, “Apa yang melanda Negara-negara Arab dan Islam secara umum, menunjukkan adanya rencana yang sistematis untuk mencerai-beraikan Kawasan tersebut. Oleh karena itu, Turki harus berpikir tentang pemerintahan terpusat, dan menjadikan sebagian besar kekuasaan di tangan satu orang. Dengan begitu, kekuasaan tidak memudar dan tidak menyerah pada disintegrasi, seperti yang telah terjadi di beberapa negara.”
“Bangsa Turki berhak untuk melindungi negara mereka dengan meninjau ulang sistem pemerintahan, jika dirasa berisiko. Risiko bisa ditimbulkan baik oleh Barat, NATO, Israel, maupun Amerika. Percobaan kudeta yang terjadi bulan Juli tahun lalu, bukan hanya dilakukan sekelompok Turki saja. Bahkan kelompok eksternal juga bisa terlibat,” Jelas Alobadi.
Abdullah Alobadi menutup pernyataannya dengan mengatakan, “Setiap pihak yang menentang amandemen konstitusi yang akan terjadi di Turki, merupakan reaksi karena Turki tidak tunduk dengan desain mereka.”
Sedangkan mantan Menlu Tunisia, Ahmed Ounaies mengatakan, “Inisiatif dan konstitusional untuk referendum sangat menarik bagi Bangsa Turki. Hal itu merupakan kesempatan untuk memilih apa yang tepat untuk mereka. Merupakan keputusan untuk keluar dari kekuasaan yang dipegang oleh parlemen, dan menyerahkannya hanya kepada presiden.”
Ahmed Ounaies juga menyebut, berbagai pertentangan eksternal terhadap referendum, sangat berhubungan dengan krisis yang terjadi di Kawasan.
“Turki sangat keras terhadap Eropa dalam urusan pengungsi. Bergitu pula dengan perdebatan tentang solusi masa depan atas berbagai isu, seperti Kurdi, Sunni, Syiah, dan Suriah. Itu merupakan akumulasi dari inisiatif yang tengah diperebutkan oleh Negara-negara Eropa,” ujar Ahmed Ounaies.
Sebagaimana dilaporkan sebelumnya, pada 21 Januari lalu, parlemen Turki menyetujui rancangan amandemen konstitusi yang diajukan oleh partai penguasa, AKP.
Amandemen konstitusi tersebut mencakup perubahan sistem pemerintahan dari sistem parlementer ke sistem presidensial. Selain itu juga ada penambahan jumlah anggota parlemen dari 550 anggota menjadi 600 anggota, serta perubahan usia minimal pencalonan dari 25 tahun menjadi 18 tahun. (whc/yenisafak/dakwatuna)
Redaktur: William Ciputra
Beri Nilai:
- Fajar Nurzaman - Blog Sang Pembelajar -
https://i2.wp.com/fajarnurzaman.net/wp-content/uploads/2017/04/Amandemen-Konstitusi-Hindarkan-Turki-dari-Dispersi.jpg?fit=300%2C300
- http://fajarnurzaman.net/spiritualreligion/amandemen-konstitusi-hindarkan-turki-dari-dispersi/
0 komentar:
Post a Comment