Thursday, February 22, 2018

UU MD3 Dibuat Untuk Jadi Tameng DPR dari Kritik dan Jeratan Kasus







Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Repulik Indonesia sepanjang sejarah sejak masa lampau, selalu dikuasai oleh pemenang pemilihan umum, ya sepanjang sejarah. Namun pada era kini, DPR justru dikuasai oposisi sebagai pecundang pemilu.


Anomali ini adalah peristiwa yang tak pernah terjadi sebelumnya sepanjang sejarah bangsa, bahkan di seantero planet Bumi sekalipun. Tak ada pemenang pemilu justru tak bisa duduk menjadi pemimpin parlemen. Seharusnya “prestasi” DPR Republik Indonesia harus dimasukkan ke dalam “Guiness Book of Record”.


Namun, mereka masih mengatasnamakan demokrasi, atau democrazy? Dimana suara rakyat dari Sabang-Merauke yang menjadi mayoritas, justru tak mendapat tempatnya di dewan paling lucu  di planet ini. Ketakutan akan terbongkarnya mafia korupsi di dalamnya adalah salah satu penyebabnya. Hal ini terbukti menjadinya tersangkanya para anggota dewan yang jumlahnya tak sedikit.


Demokrasi dengan semangat Reformasi 98 yang membarter beberapa nyawa mahasiswa da rakyat pada masa lalu ini, sebenarnya sederhana, sangat-sangat sederhana. Reformasi 98 HANYA meminta agar pejabat di Indonesia tidak lagi melakukan praktek, yang masih terkenal, dengan istilah “KKN”, yaitu singkatan dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.



Mahasiswa menguasai Gedung MPR/DPR pada Reformasi 1998.



Ketiga pokok “ideologi” turun-temurun yaitu laten pro KKN, yang sudah masuk ke darah-daging, kromosom, DNA dan otak pejabat bahkan juga rakyatnya ini harus dihilangkan, karena bagai KANKER penghancur bangsa, dan harus dimusnahkan.


Korupsi dimana-mana, karena mereka telah terbius dalam alam bawah sadar otak mereka oleh para koruptor dimasa lalu itu. Kala itu, mereka melakukan korupsi di depan mata, dimana-mana, tak ada yang berani menegur apalagi melaporkan. Dan jika dilaporkan, justru celaka bagi sang pelapor. Suatu kegilaan memang.


Dan pada masa kini, para pejabat baik dari eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif, saling korupsi berjamaah, inilah yang membuat mereka terlihat tolol bin pandir. Kenapa? Hal itu terjadi karena secara alam bawah sadar, mereka masih menganggap saat ini adalah seperti masa lalu, ketika otak mereka dicekoki dengan praktek korupsi yang terjadi dimana-mana dan membuat pelakunya kaya raya.



Dan kini, mereka juga ingin melakukannya, namun salahnya pada masa kini. Padahal pada masa kini sudah ada Corruption Eradication Commission atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga lainnya yang sudah di reformasi, memata-matai para koruptor.


Jadi, masa kini bukanlah masa lalu, bro! Ubahlah mental! Karena memberantas korupsi berawal dari diri sendiri!


Inilah yang disebut sebagai kesadaran yang sangat minim, bahkan minus! Mereka melakukan hal yang sama dimasa lalu itu, akibat alam pikiran bawah sadar yang sudah terpatri. Alam bawah sadar adalah alam yang tak disadari mempengaruhi perilaku, sikap bahkan sifat, walau orang itu dalam keadaan sadar.


Cita-cita Reformasi 98 untuk menghapus KKN yang sangat-sangat-sangat sederhana itu, mungkin dapat dilakukan di negara lain, yang mana “consciousness” atau kesadarannya sudah baik, namun tidak di republik ini, walau mereka mengaku “sadar”, bahkan sangat sadar.


Padahal dengan begitu siapapun presidennya, tidak akan bisa menjalankan tugas dan kewajibannya dengan sangat baik, kecuali melakukan KKN dengan dewan, karena keputusan eksekutif harus bersinergi dengan legislatif, yang lucunya justru dari para pecundang pemilu.



Johan Budi, mantan juru bicara KPK memegang baju penjara oranye KPK untuk koruptor.



Namu nyatanya, berbagai macam cara memang telah dilakukan oleh wakil minoritas, termasuk disyahkannya Undang-Undang nomor 17/2014, atau dikenal sebagai “UU MD3” yang diklenal sebagai UU yang di dalamnya banyak terdapat “Pasal Karet”.


Benar saja, setelah disyahkan tahun 2014, UU MD3 direvisi kembali pada ragun 2018, ya hanya dalam 4 tahun saja. Lagi-lagi untuk menjadi tameng para mafia di dalam dewan pencatat “Guiness Book of Record” ini.


Setelah direvisi, DPR RI kembali mengesahkan hasil revisi UU MD3 melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Senin (12/2/2018). Meski diwarnai interupsi dari fraksi PPP dan walk out dari Partai Nasdem, Fadli Zon sebagai pimpinan rapat tetap mengetuk palu sebagai tanda pengesahan UU itu.


“Apakah revisi Undang-Undang MD3 dapat disetujui?” tanya Fadli. “Setuju,” jawab para wakil rakyat yang tersisa. Rancangan UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) resmi disahkan menjadi “undang-undang baru”, pada Senin (12/2/2018) malam.


Terdapat 13 poin materi dalam RUU MD3 yang di antaranya membahas soal penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD hingga penguatan hak imunitas bagi anggota DPR.



Peta korupsi di Indonesia.



 


UU MD3 dibuat jadi tameng DPR dari kritik dan jeratan kasus


Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai, proses pembahasan RUU MD3 ini terkesan tertutup. Tak heran muncul sejumlah revisi pasal yang dianggap hanya menguntungkan para anggota dewan.


Salah satu yang disoroti adalah pasal 245 yang mengatur bahwa pemanggilan anggota DPR terkait tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden. Menurut Sebastian, revisi pasal ini sengaja dibuat sebagai upaya menghindari panggilan dari aparat penegak hukum.


“Sejak lama DPR berupaya agar tidak bisa dipanggil begitu saja, misalnya oleh KPK, maka dicari-carilah ketentuannya melalui pasal tentang imunitas itu,” ujar Sebastian.



Sebastian Salang, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).



Ia juga menyoroti revisi pasal 122 poin k tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap perseorangan, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.


Revisi pasal itu dinilai berpotensi menimbulkan ancaman pidana bagi siapa pun pihak yang mengkritik DPR maupun anggotanya. Padahal, kata Sebastian, MKD bukan lembaga penegak hukum yang berwenang mengatur pihak luar anggota dewan.


“MKD itu dibentuk untuk mengurusi kehormatan dewan, bukan publik. Jadi ketika pasal itu mengatur masyarakat sudah salah kaprah,” katanya.


Kewenangan MKD, lanjut Sebastian, mestinya hanya mengatur anggota dewan yang melanggar kode etik atau peraturan perundang-undangan. “Kalau dia mau atur masyarakat itu sudah melampaui kewenangannya,” imbuh Sebastian.


Revisi pasal itu, menurutnya, justru semakin menunjukkan DPR sebagai lembaga yang antikritik. Padahal era demokrasi seharusnya mengedepankan keterbukaan pada kritik kinerja lembaga-lembaga negara.


“Tidak heran kalau DPR dinilai sebagai lembaga anti-kritik dan anti-demokrasi,” tuturnya. Saat ini pihaknya tengah mempertimbangkan rencana menggugat beleid tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebastian akan mempelajari terlebih dulu pasal-pasal dalam UU MD3 yang baru.



Kekesalan demonstran ketika berdemonstrsi di depan gedung MPR/DPR yang menyisakan vandalisme pada pagarnya.



MKD mengalami penambahan fungsi yaitu pencegahan, pengawasan dan penindakan. Hal itu disisipkan pada Pasal 121A. Sementara itu, pada Pasal 122 tugas MKD mengalami perubahan dari sebelumnya empat poin, menjadi 14 poin. Di antaranya adalah Pasal 122 poin k tentang tindakan mengambil langkah hukum.


Beleid pasal itu menyatakan, dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 121A, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.


Nantinya, MKD dapat memanggil seseorang yang melakukan penghinaan kepada DPR atau anggota, dan melakukan penyelidikan, sampai membuat keputusan. Mengenai batasan antara kritikan dan penghinaan akan diatur lebih lanjut dalam tata tertib yang disusun MKD.


Ini menjadi dugaan bahwa DPR tak mau dikritik apalagi dicela, sedangkan jika mereka mengkritik atau mencela rakyat, eksekutif, dan badan lainnya jauh lebih leluasa.


Tapi untuk menangkal semua ini, mereka membuat acara “Kami Butuh Kritik”, dengan iming-iming hadiah. Namun mirisnya, dari 250 juta rakyat ini, sangat-sangat sedikit yang mau mengikuti sayembara itu, bahkan tak terdengar kabarnya.


Bukti bahwa mereka tak lagi dipercaya rakyat karena sebagai wakil rakyat, tapi mereka justru membungkam rakyatnya sendiri yang telah memilih mereka sebagai wakilnya.



Kritikan Fadli ke Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika berhasil berprestasi menjadi menteri terbaik sedunia:





Kritikan Fahri Hamzah menyinggung TKI dengan kata kasar sebagai “babu”.



Kritikan Fahri Hamzah menyinggung TKI dengan kata kasar sebagai “babu”.



Namun dihapus olehnya, mungkin karena merasa bersalah? Lalu ia men-twit:





Mungkin untuk mengklarifikasi. Tapi kenapa twit sebelumnya dihapus? Apakah tanda bersalah?



Mereka harusnya justru menjadi CONTOH dalam sikap, perilaku dalam tingkat sosial yang tinggi, bukan jutru menampakkan tingkat sosial rendah sebagai pengkritik “gak penting” dibanding urusan bangsa yang besar ini, tapi justru mau dikritik. Karena orang yang mau dikritik adalah ciri orang yang cerdas dan mau maju.


Namun, dari lebih 500 anggota wakil rakyat di Senayan Jakarta, hanya segelintir bahkan lebih sedikit dari jumlah jari Anda, yang mau menyatakan ocahan-ocehan tingakt sosial rendah seperti ini, dan itu adalah FAKTA.


Bahkan dari anggota wakil rakyatnya itu ada yang “dibuang” dari partainya karena selalu membuat pernyataan-pernyataan yang tidak profesional bahkan hingga kini walau susah ditendang dari partainya, dan menjadi wakil rakyat yang tak berpartai.


Pengeluaran dan penendangan partai kepadanya, dinilai oleh banyak orang sebagai keputusan yang cukup tepat, karena hingga kini walau susah ditendang dari partainya, tetap mengeluarkan penyataan-pernyataannya yang tidak proposional dan profesional.


Fenomena aneh juga terjadi di masyarakat, walau mereka mendukung dan sebagai pengikut bahkan kader partai yang telah mencopot dan menendangnya, namun mereka masih mengelu-elukannya, otaknye dimane? Harusnya mereka tetap menjadi kader atau pengikut setia partai itu tanpa lagi mengikuti anggotanya yang sudah ditendang.




Bunyi Sederet Pasal Kontroversial di UU MD3 yang Baru Direvisi

Berikut ini, DPR melalui rapat paripurna mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Di dalamnya, terdapat sejumlah pasal kontroversial.


Berikut selengkapnya:


A. Peran Polri untuk pemanggilan pihak-pihak untuk hadir di DPR



Peran Polri untuk pemanggilan pihak-pihak untuk hadir di DPR.



Pasa Pasal 73 Undang-Undang MD3 (UU MD3), mengatur tentang pemanggilan pihak-pihak ke DPR.


Dalam ayat 4, huruf b, pada Pasal 73 UU MD3, Polisi Republik Indonesia atau Polri disebut wajib mengikuti perintah DPR untuk memanggil paksa. Bahkan, di ayat 5, Polisi disebut berhak melakukan penahanan.


Pasal 73 :


1. DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.


2. Setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


3. Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.


4. Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:


a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa;


b. Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a;  dan


c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


5. Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf `b, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.


6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia.


B. Pengkritik DPR Bisa Dipidana



Pengkritik DPR bisa dipidana.



Pasal 122 huruf k tegas menyebut pengkritik DPR dapat dipidana. Dalam hal ini, adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR diberi tugas untuk menjalankan wewenang UU MD3 itu.


Pasal 122:


Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas:


a. melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran Kode Etik;


b. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan anggota DPR;


b. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan sistem pendukung DPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang anggota DPR;


c. melakukan pemantapan nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila, peraturan-perundang-undangan, dan Kode Etik;


d. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik;


e. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan sistem pendukung DPR;


f. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik;


g. memeriksa dan mengadili pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan Pelanggaran Kode Etik sistem pendukung DPR, terkecuali sistem pendukung Pegawai Negeri Sipil;


h. menyelenggarakan administrasi perkara pelanggaran Kode Etik;


i. melakukan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pelanggaran Kode Etik;


j. mengevaluasi pelaksanaan putusan perkara pelanggaran Kode Etik;


k. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR;


l. mengajukan rancangan peraturan DPR mengenai kode etik dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan kepada Pimpinan DPR dan Pimpinan DPR selanjutnya menugaskan kepada alat kelengkapan DPR yang bertugas menyusun peraturan DPR; dan


m. menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada badan/panitia yang menyelenggaraka urusan rumah tangga DPR.


C. Mekanisme pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum harus melalui MKD dan Presiden



Mekanisme pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum harus melalui MKD dan Presiden



Pasal 245 mengatur tentang mekanisme pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum.


Semua anggota DPR, jika dipanggil penegak hukum, harus mendapat izin tertulis dari Presiden RI setelah sebelumnya mendapat pertimbangan dari MKD DPR.


Aturan ini tak berlaku pada anggota DPR yang terjerat tindak pidana khusus.


Selain itu, aturan ini sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.


Pasal 245:


1. Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.


2. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:


a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;


b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau


c. disangka melakukan tindak pidana khusus.


D. Penambahan 3 Pimpinan MPR


Penambahan 3 kursi pimpinan MPR diatur dalam Pasal 15 UU MD3. Disebutkan MPR dipimpin 1 orang ketua dan 7 wakilnya.


Pasal 15:


1. Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 7 (tujuh) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.


2. Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.


3. Bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna.


4. Tiap fraksi dan kelompok anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MPR.


5. Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR.


6. Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR.


7. Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan MPR sementara MPR.


8. Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota MPR yang tertua dan termuda dari fraksi dan/atau kelompok anggota yang berbeda.


9. Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.


10. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.


E. Penambahan Pimpinan DPR menjadi enam orang



Pimpinan DPR era 2014.



Dalam pasal 84 Undang-Undang MD3, disepakati jumlah pimpinan DPR menjadi enam orang.


Dari jumlah pimpinan DPR sebanyak enam orang itu, memiliki struktur yang terdiri dari satu orang ketua DPR dan lima orang wakil ketua DPR.


Pasal 84:


1. Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.


2. Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.


3. Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR.


4. Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan DPR.


5. Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.


6. Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna MPR.


7. Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.


8. Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.


9. Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.


10. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.


F. Pimpinan DPD jadi empat orang


Revisi UU MD3 juga menyepakati penambahan pimpinan bagi DPD dalam pasal 260. Setelah sebelumnya dipimpin oleh tiga orang, dengan pertimbangan tiga wilayah Indonesia, yaitu Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur, DPD kini diisi p;eh satu lagi pimpinan tambahan.


Pasal 260:


1. Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.


2. Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh pimpinan sementara DPD.


3. Pimpinan sementara DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1(satu) orang ketua sementara dan 1 (satu) orang wakil ketua sementara yang merupakan anggota tertua dan anggota termuda lainnya.


4. Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.


5. Ketua dan wakil ketua DPD diresmikan dengan keputusan DPD.


6. Pimpinan DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.


7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPD diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.




DPR Mengacaukan Garis Ketatanegaraan

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD



Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyoroti disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) oleh DPR RI.


Ia mengatakan, dengan disahkannya UU MD3 itu, DPR RI telah mengacaukan garis ketatanegaraan yang sudah diatur sebelumnya.


“DPR itu sudah mengacaukan garis-garis ketatanegaraan ya… Soal etika dicampur aduk dengan persoalan hukum,” ujar Mahfud saat ditemui di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (14/2/2018) silam.


Pasal yang mencerminkan campur-aduknya etika dengan hukum yakni pasal yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengadukan orang yang dinilai merendahkan martabat DPR secara lembaga atau perorangan.


“Harusnya DPR kalau mau campur-adukkan penegakan hukum dengan etika, ya itu tidak boleh. Misalnya ada orang dianggap menghina DPR, enggak perlu pakai dewan etiknya segala. Kan sudah ada hukumnya KUHP pidana, menghina atau mencemarkan pejabat publik dan lembaga publik. Kenapa dimasukkan lagi MKD yang harus melapor?,” ujar Mahfud.


Pustaka:




Artikel Lainnya:


Gila, e-KTP Sudah Tak Aman! Seluruh Data Penduduk Indonesia “Diberikan” ke Pihak Asing


e-KTP: RFID Micro Chip, Mind Control dan Illuminati


[MEGA KORUPSI] Inilah Daftar Tersangka Korupsi e-KTP


Nazaruddin: “Setya Novanto Ancam Bunuh Saya”, Kini Ketua DPR 2014 Itu Dibidik KPK


Beginilah Cara “Bagi Tugas” 15 Anggota DPR Saat Korupsi Hambalang Rp 2,5 Trilyun!


Untuk Dana Kampanye: Gila!! Dana Bantuan Sosial Rp.411 Triliun Hilang?


[Sejarah Singkat] Awal Kasus Korupsi Di Indonesia


11,5 Juta Dokumen Diretas! “Panama Papers” Bocoran Dokumen Terbesar Sejagat!


“Jokowi Papers”, Lebih Mengerikan Bagi Pengemplang Pajak Indonesia Dibanding “Panama Papers”


Inilah Daftar Ribuan Nama Indonesia Di Panama Papers (Alphabetical Order)


Daftar Paradise Papers: “Surga Pajak” Sebut Prabowo, Tommy & Mamiek Suharto Hingga Ratu Elizabeth!


WikiLeaks Australia: SBY dan Megawati Terlibat Korupsi Pencetakan Uang Kertas Indonesia


PPATK : 12 Gubernur Miliki Uang Lebih Dari 100 Milyar, 26 Bupati Lebih Dari 1000 Milyar!


CIA Bisa Ubah TV Jadi Alat Dengar Hingga Kendalikan Mobil Dari Jauh


Awas “Big Brother” Israel Sadap Telepon Anda!


Skenario Separatisme: Indonesia vs. Misi Besar The Bilderberg Group


[WARNING] Agenda Bilderberg 2017-18: Cabal Akan Peras Emas Indonesia Atau Lebih Banyak Teroris Dan Kekacauan


PPATK: Australia Terbanyak Pasok Dana Teroris Indonesia




https://wp.me/p1jIGd-8Sm


((( IndoCropCircles.com | fb.com/IndoCropCirclesOfficial )))






Source link


- Fajar Nurzaman - Blog Sang Pembelajar -
https://i0.wp.com/fajarnurzaman.net/wp-content/uploads/2018/02/1519323715_uu-md3-dibuat-untuk-jadi-tameng-dpr-dari-kritik-dan-jeratan-kasus.jpg?fit=1366%2C901
- http://fajarnurzaman.net/mistery-konspirasi/uu-md3-dibuat-untuk-jadi-tameng-dpr-dari-kritik-dan-jeratan-kasus/

0 komentar:

Post a Comment